Grab adalah suatu perusahaan bisnis online yang bergerak di
bidang transportasi umum. Grab terdiri dari beberapa layanan, di antaranya : grabtaxi, grabbike, grabcar, dan
grabfood. Di jaman yangs serba instan ini para customer dimanjakan oleh
banyaknya layanan yang diberikan oleh pihak grab. Customer hanya perlu
mengakses aplikasi grab melalui smartphone masing masing dan memilih layanan
yang tersedia. Setelah memilih, cutomer sudah mengetahui berapa tariff yang
akan dikeluarkan dari kantong mereka.
Teknologi transportasi merupakan satu dari sedikit sektor
dimana lalu lintas di jalan sama pentingnya dengan lalu lintas di dunia maya.
Jakarta sendiri memiliki kondisi kemacetan terparah di dunia. Bagi kebanyakan
pihak, masalah ini sering diabaikan. Namun ada beberapa pihak yang melihat
masalah ini sebagai solusi bisnis menjanjikan.
Di akhir Mei, startup unicorn GrabTaxi membuka
layanan GrabBike di Jakarta. GrabTaxi menggelontorkan dana
sebesar $340 juta (Rp4,5 triliun) untuk meluncurkan layanan ini. Seperti yang
dikemukakan CEO dan Co-Founder GrabTaxi, Anthony Tan, pengguna dapat mencoba
layanan ini secara gratis selama hampir dua minggu. GrabBike melaporkan telah
mendapat 8.000
pengguna layanan ini dalam seminggu pertama peluncurannya.
Bagaimanapun, karena ranah transportasi Indonesia
menampilkan salah satu peluang terbesar di Asia Tenggara, GrabBike tidak dapat
secara mudah memenangkan pasar ini tanpa menghadapi banyak rintangan. Khususnya
di Jakarta, salah satu tantangannya datang dari pesaing lokal Go-Jek yang
mendapat julukan “Uber untuk sepeda motor”. GoJek telah beroperasi sejak 2011,
dan warga Jakarta sudah merasa familier dengan layanan ini.
Namun karena peluang pasar ini masih di tahap awal, siapapun
masih dapat bermain di ranah ini. Baik Go-Jek atau GrabBike tetap bisa
memenangkan hati masyarakat dengan berbagai cara. Kali ini, Tech in Asia menyajikan
berbagai perbandingan di antara kedua perusahaan ini.
Awal pendirian
GrabTaxi diciptakan di Malaysia oleh lulusan MBA Harvard
Business School, Anthony Tan. Sebelum memulai perusahaan ini pada 2012, Anthony
bekerja sebagai kepala marketing di perusahaan keluarganya, Tan Chong
& Sons Motor Company. Perusahaan ini dikenal menangani waralaba
Nissan dan Subaru, dan mewakili Changan Automobile di Singapura, Indonesia,
Thailand, Vietnam, dan Filipina. Perusahaan ini merupakan anak usaha dari
perusahaan di Hong Kong, Tan Chong International. Tan Chong & Sons Motor
melayani penjualan mobil, namun tidak untuk motor. Usaha tersebut juga melayani
perbaikan dan servis mobil.
Banyak orang bisa saja berpendapat bahwa Anthony memang
terlahir sebagai anak konglomerat karena perusahaan keluarganya tersebut.
Bagaimanapun, perlu diketahui bahwa Anthony membangun GrabTaxi tanpa adanya
campur tangan dari bisnis keluarganya. Ia hanya mendapat bantuan dana dari sang
ibu. Di ranah startup transportasi Indonesia, kekuatan Anthony
terletak pada sumber daya dan infrastruktur GrabTaxi. Namun ia belum familier
dengan kondisi pasar lokal.
Nadiem Makarim, Founder dan CEO GoJek, terlihat lebih berpengalaman.
Nadiem juga merupakan lulusan Harvard Business School (bahkan di tahun yang
sama dengan Anthony), lalu ia melanjutkan bekerja di McKinsey setelah meraih
gelar MBA. Lalu tiga tahun setelahnya, ia direkrut Rocket Internet untuk
menjadi managing director raksasa e-commerceZalora.
Nadiem bekerja dengan Rocket Internet hampir setahun, lalu memilih bekerja di
perusahaan layanan pembayaran Kartuku. Di samping itu, Nadiem juga telah mulai membangun dan
menjalankan Go-Jek sejak Maret 2011, bahkan sebelum ia bergabung dengan Zalora.
Kini, ia menjabat sebagai CEO Go-Jek.
Bisa dibilang kekuatan Nadiem terletak pada pengalamannya
memahami pasar Indonesia dan menjadi pionir bisnis di ranah ini. Kelemahannya,
meski sudah mendapat pendanaan yang tidak diungkapkan dari NSI Ventures, Go-Jek tampaknya belum
seagresif GrabTaxi yang memang mempunyai dana yang cukup besar.
Pengalaman pengguna
Baik Go-Jek maupun GrabBike menawarkan in-app user
experience yang mirip. Untuk memesan GrabBike, pengguna diharuskan
mengunduh aplikasi GrabTaxi. Aplikasi ini terhubung dengan GPS smartphone untuk
mengetahui lokasi pengguna, dan cukup akurat.
Aplikasi ini akan mengkalkulasi biaya berdasarkan jarak yang
ditempuh dan dapat menentukan besarnya tip yang ingin diberikan kepada
pengemudi. Pengguna juga dapat memberi catatan pada pengemudi tentang lokasi
menunggu atau barang bawaan tambahan. Sepertinya aplikasi ini masih butuh
perbaikan atau penambahan pengemudi GrabBike. Ketika saya mencoba melakukan
pemesanan, aplikasi ini menampilkan sekitar 10 pengemudi di sekitar lokasi
saya, namun saya tetap tidak berhasil mendapatkan ojek. Hal ini dapat membuat
pengguna jengkel, dan akhirnya lebih memilih langsung mencari ojek terdekat.
Sedangkan Go-Jek, meski masih jauh dari kesempurnaan,
membuat pengguna lebih mudah mendapat ojek. Bisa dibilang, dari sepuluh
pemesanan yang saya lakukan, delapan di antaranya berhasil. Go-Jek tidak
menampilkan pilihan untuk memberi tip, mungkin karena memberi tip bukan hal
yang umum di Indonesia. Bagaimanapun, jika pengemudi memberikan pelayanan yang
memuaskan, tidak tertutup kemungkinan pelanggan akan memberi tip.
Salah satu masalah dari Go-Jek adalah pengenalan fitur peta
untuk daerah tujuan. Setiap kali saya memesan, aplikasi masih sulit menemukan
lokasi tujuan. Hal ini terkadang membuat pengguna dan pengemudi bingung, dan
sedihnya, tarif pembayaran bisa saja tidak sesuai karena tujuan sebenarnya
ternyata lebih jauh atau lebih dekat. Secara keseluruhan, bagaimanapun,
sepertinya Go-Jek memiliki keunggulan dari segi user experience di
Jakarta.
Pengalaman di pasar lokal
Untuk saat ini, adil rasanya mengatakan Go-Jek memiliki poin
lebih dibandingkan GrabBike. Go-Jek telah memiliki setidaknya 2.500 armada ojek
di Jakarta, dan “ojek jaket hijau” telah familier untuk masyarakat di ibukota.
Go-Jek telah lama membangun infrastruktur untuk menyediakan berbagai layanan,
termasuk layanan kurir, belanka, dan pengantaran makanan yang disebut Go-Food
(yang menjadi pesaing dari FoodPanda). Go-Jek juga telah merambah bisnis ke
daerah lain seperti Bandung, Bali, dan Surabaya.
Namun, Anthony Tan dan GrabTaxi miliknya tidak bisa
dipandang sebelah mata. Dengan banyaknya dana dan reputasi besar, GrabBike juga
berpotensi mengungguli Go-Jek jika mengembangkan teknologi yang lebih bagus,
merekrut lebih banyak pengemudi, dan menggencarkan upaya marketing. Semua
hal tersebut tentunya bisa dilakukan dengan mudah oleh perusahaan sekelas
GrabTaxi. Semuanya tergantung dari seberapa besar Anthony Tan ingin menyaingi
Go-Jek di Indonesia.
Komentar
Posting Komentar