Perlindungan konsumen
adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen
Konsumen adalah setiap
orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.
Di ilmu ekonomi ada dua
jenis konsumen, yakni konsumen antara dan konsumen akhir. Konsumen antara
adalah distributor, agen dan pengecer. Mereka membeli barang bukan untuk
dipakai, melainkan untuk diperdagangkan Sedangkan pengguna barang adalah
konsumen akhir.
Contoh Kasus Perlindungan Konsumen
“Bedah Kasus Konsumen Fidusia”
Pengaduan konsumen tentang pembayaran angsuran motor
melalui jaminan fidusia masih marak terjadi hingga kini. Adanya kebutuhan
konsumen dan stimulus kemudahan dari sales perusahaan penjual motor menjadikan
proses jual-beli lebih mudah, bahkan bagi seorang tukang becak sekalipun
yang pendapatan hariannya relatif rendah. Permasalahan mulai timbul
ketikakonsumen tidak mampu membayar kredit motor, yang membuat erusahaan
mencabut hak penguasaan kendaraan secara langsung.
Pada umumnya praktek penjualan motor dilakukan sales
dengan iming-iming kemudahan memperoleh dana untuk pembayaran dengan
jaminan fidusia, dimana persyaratannya sederhana, cepat, dan mudah sehingga
konsumen kadang tidak pemperhitungkan kekuatan finansialnya. Sementara klausula
baku yang telah ditetapkan pelaku usaha diduga terdapat informasi terselubung
yang dapat merugikan konsumen. Untuk itu, mari kita cermati bedah kasus fidusia
di bawah ini:
Kasus Posisi
LAS yang berprofesi sebagai tukang becak, membeli
kendaraan sepeda motor Kawasaki hitam, selanjutnya NO meminjamkan identitasnya
untuk kepentingan LAS dalam mengajukan pinjaman pembayaran motor tersebut
dengan jaminan fidusia kepada PT. AF. Hal ini bisa terjadi karena fasilitasi
yang diberikan oleh NA, sales perusahaan motor tersebut. Kemudian konsumen
telah membayar uang muka sebesar Rp. 2.000.000,- kepada PT. AF dan telah
mengangsur sebanyak 6 kali (per angsuran sebesar Rp. 408.000,-). Namun ternyata
pada cicilan ke tujuh, konsumen terlambat melakukan angsuran, akibatnya terjadi
upaya penarikan sepeda motor dari PT. AF.
Merasa dirugikan, konsumen mengadukan masalahnya ke
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)Bojonegoro. Kemudian
karena tidak mampu melakukan Pembayaran, maka LAS menitipkan obyek sengketa
kepada LPKSM disertai berita acara penyerahan.Akibatnya LAS/NO dilaporkan oleh
PT. AF dengan dakwaan melakukan penggelapan dan Ketua LPKSM didakwa telah
melakukan penadahan.
Penanganan Kasus
Menyikapi kasus fidusia tersebut, BPKN bersama
dengan Direktorat Perlindungan Konsumen Departemen Perdagangan menurunkan Tim
Kecil ke Bojonegoro, untuk meneliti dan menggali 2 informasi kepada para pihak
terkait. Hasilnya dijadikan sebagai bahan kajian dan telaahan hukum pada
Workshop Bedah Kasus Pengaduan Konsumen melalui Lembaga Fidusia, sebagai
berikut:
1. Ketentuan dalam klausula baku
Pada umumnya jual beli sepeda motor diikuti dengan
perjanjian pokok yang merupakan klausula baku. Saat konsumen
mencermatinya, terdapat beberapa ketentuan yang
seringkali muncul, namun tidak memenuhi ketentuan Ps. 18 UU No. 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)
diantaranya sebagai berikut:
a. menyatakan pemberian kuasa
dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung
untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan kendaraan
bermotor yang dibeli konsumen;
b. menyatakan bahwa konsumen
memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai,
atau hak jaminan fidusia terhadap barang yang dibeli konsumen secara
angsuran.
c. Mencantumkan klausula baku
yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara
jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Klausula baku tersebut
sifatnya batal demi hukum dan pelaku usaha wajib menyesuaikannya dengan
ketentuan UUPK.
2. Pendaftaran Jaminan Fidusia
PT. AF ternyata tidak mendaftarkan jaminan fidusia
ke Kantor Pendaftaran Fidusia, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 42 Tahun 1999.Akibatnya
perjanjian jaminan fidusia menjadi gugur dan kembali ke perjanjian pokok yaitu
perjanjian hutang piutang biasa (akta dibawah tangan). Bila jaminan fidusia
terdaftar, PT. AF memiliki hak eksekusi langsung (parate eksekusi) untuk
menarik kembali motor yang berada dalam penguasaan konsumen. Namun bila tidak
terdaftar, berarti PT. AF tidak memiliki hak eksekusi langsung terhadap objek
sengketa karena kedudukannya sebagai kreditor konkuren, yang harus menunggu
penyelesaian utang bersama kreditor yang lain.
3. Hak Konsumen atas Obyek Sengketa
Konsumen telah membayar 6 kali angsuran, namun
terjadi kemacetan pada angsuran ketujuh.Ini berarti konsumen telah menunaikan
sebagian kewajibannya sehingga dapat dikatakan bahwa di atas objek sengketa
tersebut telah ada sebagian hak milik debitor (konsumen) dan sebagian hak milik
kreditor.
Tips bagi Konsumen
Rendahnya daya tawar dan pengetahuan hukum konsumen
seringkali dimanfaatkan oleh lembaga pembiayaan yang menjalankan praktek
jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan.
Untuk itu, perhatikanlah tips bagi konsumen sebagai
berikut:
1. Konsumen dihimbau beritikad baik untuk selalu
membayar angsuran secara tepat waktu.
2. konsumen dihimbau untuk lebih kritis dan teliti
dalam membaca klausula baku, terutama mengenai:
a. hak-hak dan kewajiban para pihak
b. kapan perjanjian itu jatuh tempo;
c. akibat hukum bila konsumen tidak
dapat memenuhi kewajibannya (wanprestasi)
3. Bila ketentuan klausula baku ternyata tidak
sesuai dengan ketentuan UUPK dan UUF, serta merugikan konsumen, maka pelaku
usaha harus diminta untuk menyesuaikannya dengan ketentuan tersebut.
4. Bila terjadi sengketa, konsumen dapat
memperjuangkan hak-haknya dengan meminta pertimbangan dan penyelesaian melalui
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
"Jual Bakso Daging Celeng, Pria Ini
Dipidanakan"
Petugas dari Suku Dinas Peternakan, Perikanan, dan
Kelautan menunjukan merek bakso yang mengandung daging babi di mobil
laboratorium, Tomang, Jakarta Barat,Jumat (14/12). TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat.
TEMPO.CO, Jakarta - Seorang pedagang daging giling terbukti menjual daging celeng yang disamarkan sebagai daging sapi. Daging giling itu biasa digunakan untuk bahan baku bakso. "Sudah diperiksa di laboratorium, hasilnya memang benar itu daging celeng," kata Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Jakarta Barat, Pangihutan Manurung, Senin, 5 Mei 2014.
Menurut Pangihutan, instansinya mendapat laporan tentang penjualan daging celeng di di Jalan Pekojan III Tambora, Jakarta Barat. Penjualnya bernama bernama Sutiman Wasis Utomo, 55 tahun. "Laporannya pekan lalu, dan langsung kami tindaklanjuti," kata Pangihutan.
Sutiman selama ini dikenal sebagai pengusaha rumahan yang menjual bakso olahan untuk penjual bakso keliling. Sehari setelah laporan masuk, seorang pegawai Suku Dinas Peternakan membeli bakso tersebut dan memeriksanya di laboratorium. Hasil pemeriksaan menyatakan daging bakso itu mengandung daging babi hutan atau celeng.
Kepada para anggota tim pengawasan dari Suku Dinas Peternakan, Sutiman mengaku membeli daging tersebut dari seorang lelaki bernama John, yang berdomisili di Cengkareng, Jakarta Barat. Anggota tim saat ini sedang melacak arus distribusi bakso olahan Sutiman.
Menurut Pangihutan, daging celeng yang dijual Sutiman tak melalui pengawasan oleh Suku Dinas Peternakan. Celeng tersebut diburu di berbagai daerah di Pulau Jawa dan langsung dipasarkan secara terselubung. "Tak ada jaminan daging yang dipasarkan itu sehat dan layak dikonsumsi," katanya.
Atas perbuatan tersebut, Dinas Peternakan melaporkan Sutiman ke Polsek Penjaringan. Dia dijerat Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Sutiman dianggap menipu konsumen karena tak menyebutkan bahan baku sebenarnya dan mengabaikan standar kesehatan. "Dia melanggar karena tak melewati proses pengawasan dengan menggunakan babi dari rumah potong dan berterus terang kepada pembeli," kata Pangihutan.
Analisis :
Dapat kita lihat di kasus ini terjadi dimana penjual
daging ini tidak mengatakan kepada konsumennya bahwa daging yang dia buat
menjadi bakso itu adalah daging celeng. Kita harus ketahui bahwa hak konsumen
adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
atau jasa. Dan konsumen akan sangat dirugikan sekali bila mereka mengetahui
bahwa daging yang dibelinya itu tidak sesuai dengan kemasannya yang tertulis
daging sapi.
Dan sebagai pelaku usaha seharusnya penjual daging
ini memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi barang
yang dijualnya. Pelaku telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh
undang-undang dimana ketidaksesuaiaannya isi barang dengan label kemasannya
yang dituliskan daging sapi padahal didalamnya daging celeng.
Seperti yang dikatakan berita diatas, pelaku
terjerat Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen, pasa ini berisikan bahwa :
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal
17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan
Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat,
sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang
berlaku
SUMBER :
http://riaviinola.blogspot.com/2014/09/makalah-perlidungan-konsumen.html
Nurjanah.staff.gunadarma.ac.id eprints.undip.ac.id/16220/1/AGNES_VIRA_ARDIAN.pdf
lontar.ui.ac.id/file?file=digital/135803-T%2027985…Metodologi.pdf
Komentar
Posting Komentar